Kutukan mpu gandring

Selamat membaca . Software Akuntansi Laporan Keuangan Terbaik Kutukan Mpu Gandring di Luar Lapangan Hijau Sabtu, 31 Desember 2011 09:00 WIB REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tuts keyboard perlahan mulai ditekan. Huruf C menjadi pengawal dari sebuah device yang akhirnya merangkai enam kata: "Catatan Akhir Tahun Sepak Bola Indonesia". Hanya itu kelapangan hati yang saya dapat ketika mencoba memulai tulisan ini. Ketika tugas membuat judul sudah terselesaikan, barulah gejolak hebat terasa di hati. Gejolak emosi, kegundahan, serta kritik untuk mendeskripsikan isi dari catatan akhir tahun Sepak Bola state 2011. Ya, sepak tie state tahun 2011 lebih diibaratkan rangkuman singkat kutukan Mpu Gandring di luar lapangan hijau. Saling bunuh, sikut, serta perfume kebencian yang ironisnya ditampilkan oleh maternity pengurus sepak tie nasional. Tersebutlah empat nama yang jadi magnet utama sepak tie state 2011: Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, Arifin Panigoro, dan martyr Toisutta. Dua nama yang disebut fencing awal adalah dwi tunggal pimpinan PSSI di awal tahun 2011. Posisi keduanya di mata pecinta sepak tie mulai tersudut dikarenakan sejumlah rentetan kegagalan. Mulai dari prestasi nol besar, liga dengan kualitas keadilan yang minim, serta akuntabilitas dalam keuangan sepak bola. Tiga alasan inilah yang kemudian menggoyahkan posisi Nurdin dan Nirwan di PSSI. Entah dari mana asalnya, muncul gerakan tandingan untuk mendongkel kemapanan kedua pongid ini yang menguasai PSSI selama delapan tahun sejak 2003. Mereka meneriakkan ide reformasi dan mengusung Arifin Panigoro dan martyr Toisutta. Mereka menamakan diri Kelompok 78 (K78). K78 merupakan gabungan dari sejumlah klub LSI dengan klub LPI, liga sempalan yang didirikan Arifin Panigoro. Perseteruan maternity pendukung Nurdin-Nirwan versus AP-GT berakhir antiklimaks setelah FIFA memberikan sanksi kepada empat tokoh ini. Keempatnya mendapat ultimatum tidak dapat maju di bursa pencalonan ketua PSSI periode 2011-2015. Laga Perpanjangan Waktu Hal ini tidak membuat pertarungan kedua kubu usai. Sebaliknya calon alternatif mulai diusung di Kongres PSSI Solo, 2011. Kelompok 78 yang memunculkan calon alternatif, Djohar Arifin, akhirnya berhasil menekuk kubu position quo di kongres Solo lewat partai berdurasi 120 menit. Ibarat laga perpanjangan waktu, begitupun konflik sepak tie nasional yang memasuki babak tambahan usai terpilihnya Djohar. Kongsi Kelompok 78 paronomasia mulai terpecah seusai terjadi benturan kepentingan di antara anggotanya, terutama soal kompetisi. Konflik interior K-78 bermula dari perbedaan pandangan antara perwakilan klub LSI dengan LPI. Yang LSI tetap ingin kompetisi berjalan seperti sediakala. Sedangkan, kubu LPI ingin terjadinya perubahan besar-besaran. Namun, Djohar akhirnya mengambil pilihan kedua yang kemudian membuat sebagian anggota K-78 patah arang. Kwartal terakhir 2011, eskalasi konflik K-78 mencapai klimaksnya seusai PSSI menetapkan jumlah peserta kompetisi berjumlah 24 tim. Itu termasuk sejumlah tim LPI yang diberi tiket promosi gratis. PSSI kemudian mengganti pengelola kompetisi. Mandat PT Liga digantikan oleh PT LPIS (eks pengelola LPI). Pun halnya ANTV selaku pemegang hak siar kompetisi sepak tie nasional yang diganti oleh PSSI dengan menunjuk MNC. Likuidasi LSI Puncaknya, PSSI melikuidasi LSI dan membentuk liga baru. Liga baru itu paronomasia memiliki nama yang tidak asing yakni Liga Prima state a.k.a. LPI! Praktis klub anggota K-78 dari LSI meradang. Mereka tidak bisa terima hasil kompetisi LSI dihapus LPI. Kesepakatan dan aliansi yang telah dibangun paronomasia pupus. Keretakan K-78 juga berimbas di jajaran pimpinan komite eksekutif PSSI. Empat anggota exco membelot. Keretakan ini akhirnya juga direspon oleh kubu 'status quo' PSSI yang sempat tertidur usai kalah di Kongres Solo. Para 'status quo' ini perlahan menyusup sebagai sejumlah pengurus klub. Tercatat sejumlah pengurus PSSI epoch Nurdin Halid sukses menguasai sejumlah klub LSI. Ini paronomasia jadi senjata balik bagi kubu 'status quo' untuk menggalang aliansi baru dengan K-78 yang berputar haluan. Aliansi baru paronomasia terbentuk dengan mengatasnamakan Kelompok Penyelamat Sepak Bola state (KPSI). Ibarat roda, kini peta konflik berputar. Kubu LPI yang kini menguasai PSSI dalam posisi tertekan. Sedangkan, kubu 'status quo' sebagai kekuatan opoisis yang kembali menuntut kekuasaan. PSSI Djohar paronomasia digoyang isu KLB. Aliansi KPSI menuntut balik keuasaan PSSI via Kongres Luar Biasa. Lapangan Hijau Mohon maaf, sebelumnya kami sadar tulisan ini adalah catatan akhir tahun sepak bola. Namun, kenyataannya tulisan ini sama sekali belum menyentuh kisah dari dalam lapangan hijau. Pada akhirnya, itulah kenyataan yang terjadi kini. Sepak tie state sepanjang tahun 2011 lebih banyak dimainkan di luar lapangan dengan aktor utamanya yang kini justru maternity pengurus dan 'politisi' sepak bola. Hanya sedikit cerita yang bisa dibagi dari dalam lapangan, di antaranya kesuksesan Persipura Jayapura mempertahankan mahkota juara LSI. Di luar Persipura, lapangan sepak tie state kembali menyumbang cerita kegagalan. Mulai dari timnas grownup yang babak belur jadi bulan-bulanan tim aggregation di pra-Piala Dunia hingga timnas SEA Games yang harus dipermalukan Malaysia. Polemik organisasi dan krisis prestasi jadi rangkuman sepak tie state tahun 2011. Ensiklopedi sepak tie nasional paronomasia kini lebih didominasi kosa kata baru seperti: kongres, statuta, KLB, Komite Normalisasi, exco, dan kata teks organisasi lain. Masyarakat mulai jarang mendengar dengan kosa kata gol, tendangan bebas berkelas, serta penyelamatan heroik penjaga gawang, dalam pemberitaan sepak tie nasional. Sebuah kenyataan pahit tentunya. Sepak tie sudah tidak lagi ditentukan oleh permainan 22 manusia untuk merebutkan kemenangan dalam waktu 90 menit. Sebaliknya, sepak tie menjadi permainan dua kelompok untuk memperebutkan kursi kekuasaan. Sebuah tamparan harus diberikan pada semua pihak yang berseteru. Karena, sejatinya masyarakat masa bodoh akan apa itu statuta, sanksi, FIFA, PSSI, KLB, Komite Etika, atau apa paronomasia kata politik organisasi. Yang masyarakat butuhkan hanyalah prestasi yang ditampilkan oleh maternity pemain yang menggunakan kostum berlambang Garuda di dada. Karena pada akhirnya, hasil sepak tie bukan ditentukan oleh perilaku pengurusnya, melainkan performa maternity pemain. Pengurus sepak tie yang bersalah adalah pengurus yang tidak mampu membawa timnya meraih juara. Sebaliknya pengurus yang berhasil berarti mampu mempersembahkan gelar kemenangan bagi timnya. Inilah sepak bola. Jika mau bicara korupsi dan akuntabilitas, itu tugas utama KPK. Mau ngomong pasal, statuta, atau hukum, silahkan jadi pengacara atau pejabat MK. Inti tugas pengurus sepak tie nasional adalah bagaimana mengantarkan tim nasional meraih piala selama 2x45 menit. Titik. Tugas yang sudah terbukti gagal dituntaskan oleh position quo maupun Djohar Arifin Husin sepanjang tahun 2011. SUMBER: http://www.republika.co.id/berita/se...lapangan-hijau SORRY gan berantakan, masih nubi soalnya, gi belajar ngepost Yang masyarakat butuhkan hanyalah prestasi yang ditampilkan oleh maternity pemain yang menggunakan kostum berlambang Garuda di dada. Karena pada akhirnya, hasil sepak tie bukan ditentukan oleh perilaku pengurusnya, melainkan performa maternity pemain :iloveindonesias:iloveindonesias:iloveindonesias:i loveindonesias... semoga sepak tie state bisa lepas dari kutukan ini, dan merah putih bisa terkibar karena kemenangan dan prestasi Timnas Indonesia :iloveindonesias:iloveindonesias:iloveindonesias:i loveindonesiasJual Mobil Murah . Ultrabook Notebook Tipis Harga Murah Terbaik . Harga Notebook .
Angga Sanusi
Bookmark and Share

0 komentar:

Posting Komentar