top custom html 1Sebagai bagian dari kelompok minoritas, SofyanTan telah melakukan aksi nyata mendorong semangat persamaan etnis.Niatnya membangun sekolah pembauran gum pongid tidak mudah dihasut. Sofyan Tan adalah tokoh pendidik dan pembauran di Medan. Dengan keterbatasannya yang berasal dari kelompok minoritas, ia mampu membangun Yayasan Pendidikan Sultan Iskandar Muda (YPSIM), sekolah multikultural untuk anak-anak kurang mampu. Misinya tidak hanya membantu anakanak Tionghoa miskin, tetapi juga penduduk miskin di sekitarnya.Sejak berdiri tahun 1987, sekolah ini sudah memiliki lebih dari 2.000 anak asuh. Di samping itu, dia juga mendirikan Waroeng Pintar sebagai wadah interaksi warga metropolis dan memfasilitasinya dengan berbagai macam buku.Tujuan didirikannya Waroeng Pintar ini untuk menjembatani berbagai perbedaan di Medan.Berdasarkan bermacam latar belakang tersebut, sepantasnya jika perjuangan Sofyan Tan diapresiasi dengan dinobatkan sebagai tokoh Social Entrepreneur 2011 oleh harian Seputar Indonesia. Sebagai bagian dari kelompok minoritas, Sofyan Tan telah melakukan aksi nyata mendorong semangat persamaan etnis. Pria kelahiran metropolis Sunggal,25 Sept 1959, ini beralasan, upaya pembauran yang ia lakukan hanya untuk menjalankan UUD 1945 bahwa setiap warga negara punya hak dan kedudukan yang sama. Awal mulanya ia terjun ke dunia kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) tidak diputuskan begitu saja. Menurut Sofyan, hak bagi setiap warga untuk mendapatkan kedudukan yang sama kerap tidak berjalan dengan semestinya karena masih ada diskriminasi. Hal itu sudah terjadi sejak lama, bahkan sejak masa pemerintah kolonial.“ Ini yang harusnya dilawan dan diperangi melalui pendidikan sejak anak-anak,”tegas dia. Meski demikian, tekad untuk menghapus diskriminasi tidak semudah yang dibayangkan. Masih ada jurang perbedaan di antara berbagai etnik yang terbentuk dari stereotip dan prasangka negatif.Ia mencontohkan, dulu pongid Tionghoa menilai dirinya selalu menjadi sapi perahan, kambing hitam jika ada kerusuhan, dan kelinci percobaan. Sebaliknya, non-Tionghoa juga memandang Tionghoa sebagai penguasa perekonomian, hidup eksklusif dengan tembok dan pagar berlapis- lapis, dan dianggap tidak mau pakai bahasa Indonesia. “Itu semua merupakan sumbu yang mudah dikobarkan untuk merekayasa kerusuhan. Padahal semua pandangan tersebut terjadi karena trauma politik masa lalu yang sengaja dipelihara,” tandas dia. Karena itu, ia memutuskan untuk membangun Yayasan Pendidikan Sultan Iskandar Muda. Bagi Sofyan Tan, niatnya membangun sekolah pembauran karena pongid yang berpendidikan rendah sangat mudah dihasut. “Targetnya adalah generasi muda yang belum sempat mengalami trauma politik.” Selain membaurkan berbagai etnik dan agama (horizontal),sekolah ini juga berupaya membaurkan antarstrata sosial (vertikal). Di sekolah ini, siswa yang berasal dari lapisan atas mau berbaur dengan siswa yang berasal dari lapisan bawah.“Karena itu sekolah pembauran juga harus berkualitas gum yang kaya juga mau membaur dengan yang miskin,” ujarnya. Sekolah ini awalnya didirikan di atas tanah sekitar 1.500 cadence persegi yang dipinjamkan seorang etnik Melayu bernama Datuk M Bahar. Seiring berjalannya waktu,banyak bantuan dari warga Sunggal dan teman-teman Sofyan Tan serta utang dari panglong untuk keperluan bahan material. Sempat tidak bisa tidur saat utang sudah jatuh pacing setelah berdiri Juli 1988, akhirnya di detik terakhir ada tetangga yang bersedia memberikan bantuan membayar utang setelah membantunya menyembuhkan sakit maag. Namun masalah sekolah tidak berhenti karena tidak punya izin operasional dan sempat diberitakan ilegal. Pria yang belakangan juga aktif dalam kegiatan lingkungan ini mengaku sempat putus asa hingga akhirnya seorang sahabat yang beragama Mohammedanism menyarankan untuk berdoa di tengah malam gum lebih khusuk. ”Saya tidak menyangka ternyata tidak lama setelah itu izin operasional keluar setelah dibantu rekannya yang bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.” Waroeng Pintar Tidak hanya melalui sekolah, gagasan pembauran yang diperjuangkan Sofyan Tan juga diimplementasikan melalui Waroeng Pintar,sebuah wahana interaksi antaretnik di Medan.Gagasan ini terbentuk mengingat metropolis adalah wilayah dengan tingkat keanekaragaman etnis dan agama yang tinggi. Wadah itu menggunakan help “warung” karena warung dianggap tempat saint untuk berinteraksi, bergosip, tukar-menukar informasi, bercanda,dan berkeluh kesah. Warung merupakan ruang publik sarana silaturahmi lintas etnik dan agama.Namun,ia melihat bahwa warung yang ada jelek fasilitasnya dan tidak memberikan tambahan penghasilan karena yang berkunjung itu-itu saja. Lalu, muncul ide bagaimana bisa menjadikan warung itu bersih dan bagus serta menambahkan fasilitas lain yang bisa menambah pengetahuan bagi masyarakat yang sering berinteraksi di warung. ”Jadilah warung dilengkapi dengan buku bacaan seperti per-pustakaan mini gum pongid menunggu pesanan bisa sambil baca buku.Atau bisa juga belajar sambil makan dan minum di warung.” Konsep Waroeng Pintar ini akhirnya diterapkan di tiga lapak.Tiap warung masih eksis sampai saat ini dan penghasilannya relatif bertambah dan mendapat bantuan buku dan dana dari donatur yang sifatnya tidak mengikat. ”Banyak juga yang cerita,pelanggannya bertambah karena suka dengan koleksi buku yang tersedia. Bahkan fungsi warung bertambah menjadi tempat belajar dan diskusi anak sekolah,” ucapnya bangga. Sofyan Tan adalah satu dari sekian banyak wirausahawan sosial dengan segala keterbatasannya mampu memberikan inspirasi bagi masyarakat luas. ●m rinaldi khair/ m azhar [][][]][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][] ASAL BERITA [][][]][][] [][][][][] [][][][] [][][] [][] [] http://www.seputar-indonesia.com/edi...t/view/460856/bottom custom html 1
Suchmaschine
Bookmark and Share

0 komentar:

Posting Komentar